Sidang Hasto: Eks Hakim MK Sebut Penghapusan Konten dari Ponsel Bukan Perintangan Penyidikan

Sidang yang melibatkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, tengah menjadi sorotan nasional. Dalam konteks dugaan perintangan penyidikan (obstruction of justice), nama Hasto mencuat setelah penyidik KPK menangkap seorang ajudannya yang disebut-sebut sempat menghapus konten dari ponsel Hasto saat proses pemeriksaan berlangsung.

Persidangan ini bukan hanya tentang tindakan hukum teknis, melainkan juga tentang citra partai, etika pejabat, serta kekuatan institusi penegak hukum. Yang mengejutkan, pernyataan seorang mantan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang menimbulkan perdebatan baru. Ia menyatakan bahwa penghapusan konten dari ponsel belum tentu bisa disebut sebagai perintangan penyidikan. Pernyataan itu menuai pro dan kontra, mengingat tekanan publik dan urgensi reformasi hukum yang tengah digalakkan.


2. Latar Belakang Kasus Hasto Kristiyanto

Nama Hasto Kristiyanto telah lama dikenal dalam kancah politik Indonesia, terutama sebagai tangan kanan Megawati Soekarnoputri di PDIP. Namun dalam beberapa bulan terakhir, ia terseret dalam pusaran kasus dugaan korupsi yang menyeret eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan kader PDIP Harun Masiku, buronan yang tak kunjung tertangkap sejak 2020.

Keterlibatan Hasto mencuat kembali setelah penyidik KPK memanggilnya untuk diperiksa sebagai saksi dalam pengembangan kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Saat menghadiri pemeriksaan, ajudan Hasto bernama Kusnadi ikut mendampingi dan membawa tas berisi ponsel serta dokumen pribadi.

Namun, berdasarkan keterangan penyidik, ponsel yang seharusnya menjadi barang bukti diketahui sempat dibuka dan kemungkinan kontennya telah dihapus. Tindakan inilah yang memicu tuduhan bahwa Hasto, melalui ajudannya, telah menghalangi penyidikan.


3. Kronologi Penyelidikan dan Dugaan Perintangan

Pada hari pemeriksaan, Kusnadi disebut membawa tas berisi alat komunikasi milik Hasto. Saat diperiksa, terjadi insiden pengambilan paksa ponsel dan dokumen oleh penyidik KPK. Belakangan terungkap bahwa ponsel tersebut sempat diakses dan kontennya diduga telah dihapus sebagian sebelum disita.

KPK menduga bahwa penghapusan konten ini merupakan bentuk obstruction of justice. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa menghalangi proses hukum termasuk perbuatan pidana.

Namun di sinilah muncul perdebatan hukum yang kompleks. Apakah penghapusan konten digital yang belum secara eksplisit disita dapat dikategorikan sebagai perintangan penyidikan?


4. Persidangan yang Menarik Perhatian Publik

Persidangan terbuka yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghadirkan berbagai saksi dan ahli. Salah satu yang menarik perhatian adalah testimoni dari mantan Hakim Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Hasto.

Dalam kesaksiannya, ia menyebutkan bahwa tindakan penghapusan konten dari ponsel sebelum barang itu dinyatakan sebagai alat bukti resmi belum tentu melanggar hukum. Pandangannya didasarkan pada prinsip due process dan asas legalitas.


5. Kesaksian Mantan Hakim MK: Apa yang Diungkap?

Mantan Hakim MK itu mengatakan, “Kalau seseorang menghapus data pribadinya dari perangkat miliknya sebelum perangkat itu dinyatakan sebagai barang bukti oleh penyidik, tidak serta merta tindakan tersebut disebut sebagai obstruction of justice.”

Menurutnya, perlu ada standar yang lebih ketat tentang kapan sebuah objek (seperti ponsel) masuk dalam kategori alat bukti sah, serta bagaimana perlindungan atas data pribadi harus diperhatikan dalam proses hukum.

Pernyataan ini menjadi titik balik penting dalam persidangan karena membangun narasi pembelaan bagi Hasto dan timnya.


6. Analisis Yuridis: Penghapusan Konten dan UU KUHP

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, obstruction of justice belum secara rinci diatur seperti dalam hukum Anglo-Saxon. Pasal 21 UU Tipikor menyatakan larangan menghalangi penyidikan, tetapi tidak menjelaskan tentang ruang digital.

Pasal 221 KUHP juga menyebutkan tentang menyembunyikan orang atau alat bukti, namun implementasinya dalam konteks data digital masih multitafsir. Maka, apakah menghapus file dari ponsel pribadi merupakan kejahatan?

Beberapa pakar menyebut bahwa interpretasi ini sangat bergantung pada waktu, niat, dan status hukum ponsel saat tindakan dilakukan.


7. Pandangan Ahli Hukum Pidana dan Teknologi

Ahli pidana menyebutkan bahwa bila penghapusan terjadi setelah penyidik mengeluarkan surat penyitaan, maka tindakan itu jelas melanggar. Namun jika belum, maka masuk area abu-abu.

Sementara pakar forensik digital menambahkan bahwa alat komunikasi modern bisa memiliki auto-delete atau fitur penghapusan otomatis. Tanpa audit digital menyeluruh, sangat sulit menentukan apakah penghapusan dilakukan sengaja atau tidak.


8. Respons KPK: Bantahan, Pembenaran, dan Sikap Tegas

Pihak KPK menolak mentah-mentah pandangan yang menyebut penghapusan data bukan bentuk pelanggaran. KPK menegaskan bahwa setiap upaya mengubah, menghapus, atau menyembunyikan informasi penting yang relevan dengan proses penyidikan akan dianggap sebagai bentuk perintangan hukum.

Juru bicara KPK menyatakan, “Kami memiliki cukup bukti bahwa tindakan itu disengaja, dan tidak dilakukan atas ketidaktahuan. Kami akan terus memproses secara hukum.”


9. Reaksi Politik: PDIP, Koalisi, dan Oposisi

PDIP melalui sejumlah petingginya membela Hasto. Mereka menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kader partai. Bahkan beberapa menyebut langkah KPK sebagai bentuk politisasi hukum menjelang Pemilu 2029.

Di sisi lain, partai oposisi memandang bahwa tidak boleh ada yang kebal hukum. Mereka mendesak agar KPK bekerja secara independen dan menuntaskan kasus tanpa pandang bulu.


10. Dimensi Publik: Persepsi, Media, dan Polarisasi

Publik terbelah. Di satu sisi, banyak yang menganggap KPK sebagai satu-satunya lembaga harapan untuk membersihkan korupsi politik. Di sisi lain, ada juga yang mulai skeptis terhadap proses hukum, terutama bila dikaitkan dengan dinamika politik kekuasaan.

Media sosial ramai dengan tagar #SaveKPK dan #BelaHasto. Narasi yang berkembang menunjukkan bahwa masyarakat melihat lebih dari sekadar aspek hukum; mereka melihatnya sebagai pertempuran antara kekuasaan dan integritas.


11. Apakah Hasto Akan Jadi Tersangka?

Status Hasto hingga kini masih sebagai saksi. Namun, para analis hukum meyakini bahwa dengan bukti yang ada, serta jika keterlibatannya dalam upaya menghapus atau mengamankan data terbukti, ia berpeluang besar ditetapkan sebagai tersangka.

Pertanyaannya kini: apakah KPK siap mengambil risiko politik dari tindakan itu?


12. Telaah Etika dan Peran Pejabat Politik dalam Hukum

Seorang pejabat publik seperti Hasto idealnya menjadi contoh kepatuhan terhadap hukum. Bahkan jika ia merasa tidak bersalah, tindakan kooperatif dan transparan terhadap aparat penegak hukum sangat penting.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya etika dalam jabatan publik, bukan sekadar strategi hukum untuk menyelamatkan diri.


13. Perbandingan Kasus Serupa di Masa Lalu

Beberapa kasus obstruction of justice terjadi di Indonesia, namun jarang yang menyentuh ranah digital. Kasus Setya Novanto yang sempat mematikan ponsel saat hendak ditangkap bisa menjadi perbandingan, meskipun konteksnya berbeda.

Di luar negeri, kasus serupa seperti Hillary Clinton dengan email server pribadi juga menimbulkan kontroversi dan memperlihatkan betapa kompleksnya menyeimbangkan hak digital dan penegakan hukum.


14. Apa Dampak Jangka Panjangnya terhadap Integritas Penegakan Hukum?

Apa pun hasil sidang ini, kasus Hasto akan menjadi yurisprudensi penting. Ia akan mempengaruhi bagaimana hukum Indonesia menghadapi permasalahan digital dalam proses penyidikan ke depan.

KPK perlu mengembangkan protokol penyitaan dan audit digital yang transparan, sementara para pejabat publik harus mulai menyadari bahwa segala tindakan mereka—baik digital maupun fisik—dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.


15. Kesimpulan: Hukum, Etika, dan Tantangan Reformasi

Sidang Hasto Kristiyanto adalah refleksi betapa kompleksnya penegakan hukum di era digital, terlebih ketika yang terlibat adalah elite politik. Pernyataan mantan Hakim MK tentang penghapusan konten bukan perintangan hukum menjadi titik refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan.

Apakah kita akan membiarkan celah hukum ini menjadi pelindung bagi elite? Ataukah kita akan mendorong reformasi hukum digital yang lebih ketat dan adil?

Yang pasti, kasus ini belum usai—dan babak selanjutnya akan semakin menentukan masa depan keadilan di Indonesia.

Baca Juga : Dibayangi Ancaman Serangan Israel, Warga Gaza Serbu Bantuan Kemanusiaan: Krisis Kemanusiaan dan Harapan di Tengah Konflik Berkepanjangan

Exit mobile version